Moral Seksualitas dan Perkawinan
Moral
Seksualitas
Gereja Katolik mengajarkan bahwa kehidupan manusia
dan seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
yang lainnya dan adalah suatu yang suci. Oleh karena umat Katolik percaya bahwa Tuhan menciptakan
umat manusia berdasarkan citra dan kemiripan-Nya, serta bahwa Tuhan menjadikan semua yang diciptakannya
sebagai hal-hal yang "sangat baik" (Kitab Kejadian 1:31), Gereja
mengajarkan bahwa tubuh manusia dan seks haruslah baik oleh karenanya. Katekismus Gereja
Katolik
mengajarkan bahwa "tubuh manusia merupakan sendi dari penyelamatan" Gereja menganggap bahwa perwujudan cinta antara suami dan
istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang lebih tinggi nilainya,
menyatukan suami dan istri di dalam bentuk saling menyerahkan diri yang
sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka pada kehidupan yang baru.
"Aktivitas seksual dimana suami dan istri bersatu secara intim dan murni
antara yang satu dengan yang lainnya, yang daripadanya kehidupan manusia
disalurkan, adalah, sebagaimana diingatkan oleh Konsili terakhir, "mulia dan
berharga". Adalah di dalam kasus-kasus dimana perwujudan seksual
dicari di luar ikatan pernikahan yang suci, atau dimana
fungsi-fungsi membentuk keturunan (prokreasi) dari perwujudan seksual di dalam pernikahan ditanggalkan secara sengaja, Gereja
menyatakan keprihatinan moral yang sangat mendalam.
Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksual di luar ikatan
pernikahan adalah bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri.
"Aktivitas hubungan suami-istri" bertujuan untuk mencapai kesatuan
pribadi yang sangat mendalam; sebuah persatuan yang lebih daripada hanya sebuah
persetubuhan, yang menjurus pada pembentukan kesatuan hati dan jiwa semenjak ikatan pernikahan merupakan sebuah tanda cinta
antara Tuhan dan manusia.
Di antara
dosa-dosa yang sangat bertentangan dengan kemurnian
seksual adalah masturbasi, hubungan seks bebas, pornografi, praktek-praktek hubungan homoseksual dan alat-alat kontrasepsi. Disamping dianggap sebagai sebuah dosa besar, penyediaan
sarana atau bantuan dalam tindakan aborsi bisa mengakibatkan dijatuhinya
hukuman ekskomunikasi.
Mengenai ajaran Alkitab soal moralitas seksual
1. Hubungan seksual hanya diizinkan bagi mereka
yang sudah menikah dan disetujui serta diberkati Allah melalui pernikahan suami
dan istri menjadi satu daging menurut kehendak Allah.
2.
Perzinahan, tindakan seksual yang
tak bermoral, homoseksualitas, sensualitas, ketidaksucian, dan nafsu-nafsu yang
hina dipandang sebagai dosa yang hebat di hadapan Allah karena merupakan
pelanggaran terhadap hukum kasih dan pencemaran hubungan pernikahan.
3.
Tindakan seksual yang tak bermoral
dan ketidaksucian bukan saja berupa perbuatan seksual dan persetubuhan yang
terlarang, tetapi juga meliputi setiap perbuatan pemuasan seksual dengan orang
lain yang bukan pasangan nikahnya. Ajaran kontemporer mengatakan bahwa hubungan
seksual di antara kaum muda dan orang dewasa yang belum nikah tetapi sudah bertunangan
dapat diterima sejauh tidak terjadi hubungan seksual, merupakan ajaran yang
bertentangan dengan kekudusan Allah dan norma kesucian Alkitab. Allah secara
tegas melarang setiap bentuk "hubungan seksual dengan siapa saja yang
bukan suami atau istri yang sah”
4.
Orang percaya harus menjalankan
penguasaan diri dalam kaitan dengan semua hal seksual sebelum pernikahan.
5.
Istilah-istilah Alkitab yang
digunakan untuk tindakan seksual yang dursila (kelakuan buruk atau jahat), yang
menggambarkan luas kejahatan itu, adalah sebagai berikut:
1.
Kedursilaan seksual (Yun. _porneia_)
menggambarkan aneka ragam perbuatan seksual sebelum atau di luar pernikahan;
istilah ini tidak terbatas pada perbuatan sanggama. Setiap kegiatan atau
permainan seksual yang intim di luar hubungan pernikahan, termasuk menyentuh
bagian-bagian kelamin atau menyingkapkan ketelanjangan seseorang, terangkum
dalam istilah ini dan jelas merupakan pelanggaran terhadap norma-norma moral
Allah bagi umat-Nya.
2.
Sensualitas menunjuk kepada
ketiadaan prinsip moral, khususnya mengabaikan penguasaan diri dalam hal
seksual yang menjaga kemurnian perilaku mengenai perilaku yang tidak pantas.
3.
Mengambil keuntungan dari orang
berarti merampas kemurnian moral yang diinginkan Allah bagi orang itu dengan
tujuan memuaskan nafsunya sendiri. Membangkitkan nafsu seksual di dalam diri
orang lain yang tidak boleh dipuaskan secara benar berarti mengeksploitasi atau
menarik keuntungan dari orang tersebut.
4.
Nafsu adalah memiliki keinginan
dursila yang akan dipenuhi jika kesempatan tersedia.
1.
Perkawinan
dalam Gereja Katolik
1.
Perkawinan
sebagai Sebuah Perjanjian
Perkawinan dalam Gereja Katolik mengalami perubahan makna.
Awal sejarah gereja melihat perkawinan sebagai kontrak. Kontrak yang terjdi
bermakna persetujuan antara pria dan wanita untuk sekedar hidup bersama dengan
tujuan utamanya prokreasi. Menghasilkan keturunan menjadi fokus utama kontrak.
Nilai perkawinan semata-mata hanya untuk pelestarian hidup manusia. Secara
perlahan pandangan dalam gereja mulai bergerak ke arah yang lebih dalam. Gereja
memperdalam makna kontrak sebagai sebuah perjanjian atau sebuah pakta yang
membentuk satu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Gereja juga memperdalam tujuan perkawinan dengan tetap memperhatikan tujuan
awal perkawinan yaitu prokreasi tetapi juga menekankan peran saling menolong
sebagai suami istri dan obat penawar nafsu seksual.
Secara kodrati seks merupakan sebuah tindakan fisik-badaniah tapi maknanya jauh
lebih dalam sebab memiliki daya menyembuhkan, menyejukkan dan menenteramkan hati.
Pandangan ini ditegaskan dalam Gadium et Spes
49 pada konstitusi pastoral tentang gereja di dunia dewasa ini yang menegaskan
seks sebagai suatu tindakan khas dalam perkawinan untuk meluhurkan dan mengormati
hubungan suami istri yang dijalankan secara sungguh manusiawi serta tanda
penyerahan diri.
2.
Relasi
Persona
Perkawinan
yang sakramental mengindikasikan satu relasi inter subyek pria dan wanita.
Kodrat relasi ini dibangun atas dasar hak atas tubuh (ius in corpus)
yang dipahami sebagai pemberian dan pernyerahan diri secara total. Penyerahan
diri secara total berarti mengungkapkan kesatuan dua persona. Ungkapan penyerahan
diri secara total ini terungkap dalam hubungan intim suami istri sebagai mana
tertuang dalam Kanon yang menyatakan bahwa perkawinan sebagai penyempurna
perkawinanan sakramental.
Mereka bukanlah dua melainkan telah menjadi satu persona dalam ikatan
perjanjian yang luhur.
3.
Monogam
dan Tak Tercerikan
Ciri
perkawinan sakramental gereja Katolik ialah monogam dan tak terceraikan.
Perceraian dalam gereja Katolik merupakan satu bentuk pengingkaran perjanjian.
Kanon 1056 menegaskan ciri ini demi terciptanya perkawinan yang luhur dan kekal.
Sifat ini menegaskan satu kesatuan utuh dalam ikatan perkawinan yang telah
diikat melalui sakramen sebagaimana yang talah dirangkum dalam Kanon yang
mengatakan Perkawinan merupakan lambang ikatan cinta Allah kepada umatnya.
2.
Perkawinan Sebagai Lembaga
Masyarakat
Norma-norma atau peraturan-peraturan masyarakat tentang
lembaga perkawinan pada awalnya menyangkut hakekat perkawinan pada umumnya
diakui bahwa perkawinan merupakan ikatan pria dan wanita yang membenarkan hidup
bersama, termasuk hak untuk tidur bersama dan mempunyai anak bersama.Masyarakat
mengakui suami-isteri sebagai wanita yang berhubungan erat dengan suaminya dan
mengakui anak-anak sebagai anak-anak mereka berdua,walaupun mungkin hanya
memakai hanya ayah saja misalnya; pengakuan masyarakat tampak dari perlindungan
dan sikap hormat orang banyak maupun para pemimpin terhadap suami dan isteri
dan anak-anak mereka.
3.
Perkawinan Sebagai Lembaga Hukum
NegaraKebanyakan negara mengakui perkawinan sebagai ikatan
yang kokoh antara pria dan wanita, dan mengakui suami dan isteri sebagai orang
tua yang sah dari anak-anak mereka berdua, karena itu pegawai negeri sipil juga
mendapat tunjangan anak, selain gaji pokok dan tunjangan-tunjangan
lainnya.Anggapan berbagai negara tentang sahnya perkawinan yakni ada negara
yang mengakui bahwa sahnya perkawinan jika sudah melalui perkawinan yang
diteguhkan oleh lembaga negara semacam catatan kantor pencatatan sipil.
4.
Perkawinan Sebagai Lembaga Agama
Kebanyakan agama juga telah melembagakan perkawinan dan
agama itu memberikan pedoman-pedoman moral dan hukum-hukum dibidang perkawinan,
misalnya : persiapan nikah, peneguhan nikah, proses peneguhan nikah, proses
perceraian, proses pembatalan nikah danperkawina kedua sesudah ada perceraian.
Agama juga melihat perkawinan sebagai ikatan erat antara pria dan wanita serta
kebanyakan agama melihat yang lebih luhur lagi dari perkawinan misalnya;
sebagai kenyataan yang suci, kenyataan yang menuai nilai sakral, kenyataan yang
mendekatkan suami-isteri dengan Tuhan, kenyataan yang membuahkan rahmat atau
berkat Tuhan.
5.
Perkawinan Sebagai Lembaga Hidup
Sebagian orang terpanggil untuk membentuk suatu keluarga.
Bagi orang yang hendak menikah harus menguji diri, sejauh mana ia akan mematuhi
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, misalnya kalau hukum
perkawinan Negara memberikan kewajiban pada suami untuk mencukupi nafkah isteri
dan anak-anaknya, kalau hal itu tidak dapat dipenuhi, sebaiknya menunda dulu
pernikahan itu.Perkawinan juga menuntut kesetiaan dari laki-laki maupun
perempuan dan kemauan untuk beranak, serta kemampuan unntuk mendidik
anak-anaknya, karena tuntutan ini adalah panggila berkeluarga yang penting. Kesadaran
akan perkawinan sebagai panggilan hidup terutama menuntut dari muda-mudi yang
merasa terpanggil kesana untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin, agar nanti
benar-benar mampu memenuhi tuntutan pokok cara hidup itu. Perkawinan tidak
dilihat sebagai peristiwa yang datang sendiri sesuai dengan kedewasaan usia,
maka pemilihan partner pun sebaiknya dilakukan dengan kesungguhan, tidak asal
sama-sama mau, masa pacaran justru perlu untuk saling menguji, apakah mereka
berdua memang akan mampu menjadi suami isteri yang setia dan saling
membahagiakan.
6.
Perkawinan Pebagai Persektuan Hidup
Melalui perkawinan suami dan isteri sah menjadi teman hidup
dalam menjalani kehidupan mereka, mereka mempersatukan diri dengan seluruh
pribadi, jiwa dan raga. Sejak pernikahan … bahwa mereka mempersatukan tubuh
mereka melalui senggama, sebagai tanda cinta dan ungkapan kehendak yang bulat
untuk mempersatukan seluruh hidup mereka.
7.
Sifat-Sifat Pekawinan
a.
Perkawinan yang bersifat monogami
yaitu perkawinan yang satu isteri dan satu suami saja.sifat ini berasal dari
manusia yang normal, atau sifat laki-laki dan perempuan yang menginginkan cinta
yang penuh atau tidak terbagi (tidak ada pihak ketiga dan seterusnya).
b.
Perkawinan yang bersifat tak
terceraikan yaitu suami dan isteri dapat menghindari perceraian resmi walaupun
mungkin terpaksa hidup terpisah karena ketidakcocokan yang tak teratasi karena
perceraian resmi melibatkan banyak pihak yaitu suami isteri, kedua mertua,
anak-anak, saudara-saudara ipar, pengadilan negara dan pengadilan agama.
c.
Pekawinan heteroseksual merupakan
sifat pokok perkawinan yakni perkawinan yang menyatukan dua orang berbeda jenis
kelamin, sehingga keduanya saling melengkapi, saling membahagiakan dan saling
menyempurnakan
d.
Keterbukaan akan adanya anak, secara
spontan suami isteri yang normal dan sehat mengetahui serta menyetujui bahwa
persekutuan mereka akan membuahkan anak-anak bahkan ada suami isteri yang
sangat merindukan anak sebelum pernikahan mereka.
8.
Tugas Pokok Suami Isteri
Tugas pokok suami isteri yaitu menyempurnakan cinta, saling
membahagiakan, membentuk persekutuan hidup yang penuh cinta, menurunkan dan
mendidik anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, ikut membangun dan
ikut mengembangkan umat beragama yang seiman.
Comments
Post a Comment