Thursday, May 21, 2015

Moral Seksualitas dan Perkawinan



Moral Seksualitas

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kehidupan manusia dan seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya dan adalah suatu yang suci. Oleh karena umat Katolik percaya bahwa Tuhan menciptakan umat manusia berdasarkan citra dan kemiripan-Nya, serta bahwa Tuhan menjadikan semua yang diciptakannya sebagai hal-hal yang "sangat baik" (Kitab Kejadian 1:31), Gereja mengajarkan bahwa tubuh manusia dan seks haruslah baik oleh karenanya. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa "tubuh manusia merupakan sendi dari penyelamatan" Gereja menganggap bahwa perwujudan cinta antara suami dan istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang lebih tinggi nilainya, menyatukan suami dan istri di dalam bentuk saling menyerahkan diri yang sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka pada kehidupan yang baru. "Aktivitas seksual dimana suami dan istri bersatu secara intim dan murni antara yang satu dengan yang lainnya, yang daripadanya kehidupan manusia disalurkan, adalah, sebagaimana diingatkan oleh Konsili terakhir, "mulia dan berharga". Adalah di dalam kasus-kasus dimana perwujudan seksual dicari di luar ikatan pernikahan yang suci, atau dimana fungsi-fungsi membentuk keturunan (prokreasi) dari perwujudan seksual di dalam pernikahan ditanggalkan secara sengaja, Gereja menyatakan keprihatinan moral yang sangat mendalam.
 
Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri. "Aktivitas hubungan suami-istri" bertujuan untuk mencapai kesatuan pribadi yang sangat mendalam; sebuah persatuan yang lebih daripada hanya sebuah persetubuhan, yang menjurus pada pembentukan kesatuan hati dan jiwa semenjak ikatan pernikahan merupakan sebuah tanda cinta antara Tuhan dan manusia.
Di antara dosa-dosa yang sangat bertentangan dengan kemurnian seksual adalah masturbasi, hubungan seks bebas, pornografi, praktek-praktek hubungan homoseksual dan alat-alat kontrasepsi. Disamping dianggap sebagai sebuah dosa besar, penyediaan sarana atau bantuan dalam tindakan aborsi bisa mengakibatkan dijatuhinya hukuman ekskomunikasi.

Mengenai ajaran Alkitab soal moralitas seksual

1.      Hubungan seksual hanya diizinkan bagi mereka yang sudah menikah dan disetujui serta diberkati Allah melalui pernikahan suami dan istri menjadi satu daging menurut kehendak Allah.

2.      Perzinahan, tindakan seksual yang tak bermoral, homoseksualitas, sensualitas, ketidaksucian, dan nafsu-nafsu yang hina dipandang sebagai dosa yang hebat di hadapan Allah karena merupakan pelanggaran terhadap hukum kasih dan pencemaran hubungan pernikahan.

3.      Tindakan seksual yang tak bermoral dan ketidaksucian bukan saja berupa perbuatan seksual dan persetubuhan yang terlarang, tetapi juga meliputi setiap perbuatan pemuasan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya. Ajaran kontemporer mengatakan bahwa hubungan seksual di antara kaum muda dan orang dewasa yang belum nikah tetapi sudah bertunangan dapat diterima sejauh tidak terjadi hubungan seksual, merupakan ajaran yang bertentangan dengan kekudusan Allah dan norma kesucian Alkitab. Allah secara tegas melarang setiap bentuk "hubungan seksual dengan siapa saja yang bukan suami atau istri yang sah”

4.      Orang percaya harus menjalankan penguasaan diri dalam kaitan dengan semua hal seksual sebelum pernikahan.

5.      Istilah-istilah Alkitab yang digunakan untuk tindakan seksual yang dursila (kelakuan buruk atau jahat), yang menggambarkan luas kejahatan itu, adalah sebagai berikut:
1.        Kedursilaan seksual (Yun. _porneia_) menggambarkan aneka ragam perbuatan seksual sebelum atau di luar pernikahan; istilah ini tidak terbatas pada perbuatan sanggama. Setiap kegiatan atau permainan seksual yang intim di luar hubungan pernikahan, termasuk menyentuh bagian-bagian kelamin atau menyingkapkan ketelanjangan seseorang, terangkum dalam istilah ini dan jelas merupakan pelanggaran terhadap norma-norma moral Allah bagi umat-Nya.
2.        Sensualitas menunjuk kepada ketiadaan prinsip moral, khususnya mengabaikan penguasaan diri dalam hal seksual yang menjaga kemurnian perilaku mengenai perilaku yang tidak pantas.
3.        Mengambil keuntungan dari orang berarti merampas kemurnian moral yang diinginkan Allah bagi orang itu dengan tujuan memuaskan nafsunya sendiri. Membangkitkan nafsu seksual di dalam diri orang lain yang tidak boleh dipuaskan secara benar berarti mengeksploitasi atau menarik keuntungan dari orang tersebut.
4.        Nafsu adalah memiliki keinginan dursila yang akan dipenuhi jika kesempatan tersedia.



1.      Perkawinan dalam Gereja Katolik

1.      Perkawinan sebagai Sebuah Perjanjian
Perkawinan dalam Gereja Katolik mengalami perubahan makna. Awal sejarah gereja melihat perkawinan sebagai kontrak. Kontrak yang terjdi bermakna persetujuan antara pria dan wanita untuk sekedar hidup bersama dengan tujuan utamanya prokreasi. Menghasilkan keturunan menjadi fokus utama kontrak. Nilai perkawinan semata-mata hanya untuk pelestarian hidup manusia. Secara perlahan pandangan dalam gereja mulai bergerak ke arah yang lebih dalam. Gereja memperdalam makna kontrak sebagai sebuah perjanjian atau sebuah pakta yang membentuk satu persekutuan hidup dan cinta yang mesra. Gereja juga memperdalam tujuan perkawinan dengan tetap memperhatikan tujuan awal perkawinan yaitu prokreasi tetapi juga menekankan peran saling menolong sebagai suami istri dan obat penawar nafsu seksual. Secara kodrati seks merupakan sebuah tindakan fisik-badaniah tapi maknanya jauh lebih dalam sebab memiliki daya menyembuhkan, menyejukkan dan menenteramkan hati.
Pandangan ini ditegaskan dalam Gadium et Spes 49 pada konstitusi pastoral tentang gereja di dunia dewasa ini yang menegaskan seks sebagai suatu tindakan khas dalam perkawinan untuk meluhurkan dan mengormati hubungan suami istri yang dijalankan secara sungguh manusiawi serta tanda penyerahan diri.

2.      Relasi Persona
Perkawinan yang sakramental mengindikasikan satu relasi inter subyek pria dan wanita. Kodrat relasi ini dibangun atas dasar hak atas tubuh (ius in corpus) yang dipahami sebagai pemberian dan pernyerahan diri secara total. Penyerahan diri secara total berarti mengungkapkan kesatuan dua persona. Ungkapan penyerahan diri secara total ini terungkap dalam hubungan intim suami istri sebagai mana tertuang dalam Kanon yang menyatakan bahwa perkawinan sebagai penyempurna perkawinanan sakramental. Mereka bukanlah dua melainkan telah menjadi satu persona dalam ikatan perjanjian yang luhur.

3.      Monogam dan Tak Tercerikan
Ciri perkawinan sakramental gereja Katolik ialah monogam dan tak terceraikan. Perceraian dalam gereja Katolik merupakan satu bentuk pengingkaran perjanjian. Kanon 1056 menegaskan ciri ini demi terciptanya perkawinan yang luhur dan kekal. Sifat ini menegaskan satu kesatuan utuh dalam ikatan perkawinan yang telah diikat melalui sakramen sebagaimana yang talah dirangkum dalam Kanon yang mengatakan Perkawinan merupakan lambang ikatan cinta Allah kepada umatnya.

2.      Perkawinan Sebagai Lembaga Masyarakat

Norma-norma atau peraturan-peraturan masyarakat tentang lembaga perkawinan pada awalnya menyangkut hakekat perkawinan pada umumnya diakui bahwa perkawinan merupakan ikatan pria dan wanita yang membenarkan hidup bersama, termasuk hak untuk tidur bersama dan mempunyai anak bersama.Masyarakat mengakui suami-isteri sebagai wanita yang berhubungan erat dengan suaminya dan mengakui anak-anak sebagai anak-anak mereka berdua,walaupun mungkin hanya memakai hanya ayah saja misalnya; pengakuan masyarakat tampak dari perlindungan dan sikap hormat orang banyak maupun para pemimpin terhadap suami dan isteri dan anak-anak mereka.

3.      Perkawinan Sebagai Lembaga Hukum 

NegaraKebanyakan negara mengakui perkawinan sebagai ikatan yang kokoh antara pria dan wanita, dan mengakui suami dan isteri sebagai orang tua yang sah dari anak-anak mereka berdua, karena itu pegawai negeri sipil juga mendapat tunjangan anak, selain gaji pokok dan tunjangan-tunjangan lainnya.Anggapan berbagai negara tentang sahnya perkawinan yakni ada negara yang mengakui bahwa sahnya perkawinan jika sudah melalui perkawinan yang diteguhkan oleh lembaga negara semacam catatan kantor pencatatan sipil.

4.      Perkawinan Sebagai Lembaga Agama

Kebanyakan agama juga telah melembagakan perkawinan dan agama itu memberikan pedoman-pedoman moral dan hukum-hukum dibidang perkawinan, misalnya : persiapan nikah, peneguhan nikah, proses peneguhan nikah, proses perceraian, proses pembatalan nikah danperkawina kedua sesudah ada perceraian. Agama juga melihat perkawinan sebagai ikatan erat antara pria dan wanita serta kebanyakan agama melihat yang lebih luhur lagi dari perkawinan misalnya; sebagai kenyataan yang suci, kenyataan yang menuai nilai sakral, kenyataan yang mendekatkan suami-isteri dengan Tuhan, kenyataan yang membuahkan rahmat atau berkat Tuhan.

5.      Perkawinan Sebagai Lembaga Hidup

Sebagian orang terpanggil untuk membentuk suatu keluarga. Bagi orang yang hendak menikah harus menguji diri, sejauh mana ia akan mematuhi ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, misalnya kalau hukum perkawinan Negara memberikan kewajiban pada suami untuk mencukupi nafkah isteri dan anak-anaknya, kalau hal itu tidak dapat dipenuhi, sebaiknya menunda dulu pernikahan itu.Perkawinan juga menuntut kesetiaan dari laki-laki maupun perempuan dan kemauan untuk beranak, serta kemampuan unntuk mendidik anak-anaknya, karena tuntutan ini adalah panggila berkeluarga yang penting. Kesadaran akan perkawinan sebagai panggilan hidup terutama menuntut dari muda-mudi yang merasa terpanggil kesana untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin, agar nanti benar-benar mampu memenuhi tuntutan pokok cara hidup itu. Perkawinan tidak dilihat sebagai peristiwa yang datang sendiri sesuai dengan kedewasaan usia, maka pemilihan partner pun sebaiknya dilakukan dengan kesungguhan, tidak asal sama-sama mau, masa pacaran justru perlu untuk saling menguji, apakah mereka berdua memang akan mampu menjadi suami isteri yang setia dan saling membahagiakan.

6.      Perkawinan Pebagai Persektuan Hidup

Melalui perkawinan suami dan isteri sah menjadi teman hidup dalam menjalani kehidupan mereka, mereka mempersatukan diri dengan seluruh pribadi, jiwa dan raga. Sejak pernikahan … bahwa mereka mempersatukan tubuh mereka melalui senggama, sebagai tanda cinta dan ungkapan kehendak yang bulat untuk mempersatukan seluruh hidup mereka.

7.      Sifat-Sifat Pekawinan

a.       Perkawinan yang bersifat monogami yaitu perkawinan yang satu isteri dan satu suami saja.sifat ini berasal dari manusia yang normal, atau sifat laki-laki dan perempuan yang menginginkan cinta yang penuh atau tidak terbagi (tidak ada pihak ketiga dan seterusnya).
b.      Perkawinan yang bersifat tak terceraikan yaitu suami dan isteri dapat menghindari perceraian resmi walaupun mungkin terpaksa hidup terpisah karena ketidakcocokan yang tak teratasi karena perceraian resmi melibatkan banyak pihak yaitu suami isteri, kedua mertua, anak-anak, saudara-saudara ipar, pengadilan negara dan pengadilan agama.
c.       Pekawinan heteroseksual merupakan sifat pokok perkawinan yakni perkawinan yang menyatukan dua orang berbeda jenis kelamin, sehingga keduanya saling melengkapi, saling membahagiakan dan saling menyempurnakan
d.      Keterbukaan akan adanya anak, secara spontan suami isteri yang normal dan sehat mengetahui serta menyetujui bahwa persekutuan mereka akan membuahkan anak-anak bahkan ada suami isteri yang sangat merindukan anak sebelum pernikahan mereka.

8.      Tugas Pokok Suami Isteri

Tugas pokok suami isteri yaitu menyempurnakan cinta, saling membahagiakan, membentuk persekutuan hidup yang penuh cinta, menurunkan dan mendidik anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka, ikut membangun dan ikut mengembangkan umat beragama yang seiman.

Download Steps (Cara Download) Link Novels

I'm using ShortLink generator. So you first has to follow the steps. Step One verification I'm not a Robot. Step Two click Click he...